Contoh Taks Narasi imajinatif :
Namaku Edelwiss alias Anaphalis javanica. Biasanya aku tumbuh di dataran tinggi atau puncak-puncak gunung. Oleh kalangan Botani, aku sering disebut tanaman sejenis perdu, dan termasuk anggota famili Compositae atau disebut juga Asteraceae (sambung-sambungan).
Bungaku kecil sebesar bunga rumput. Orang lebih mengenalku dengan warna putih daripada warna lainnya. Hidupku bergerombolan di ujung dahan dengan harum yang khas.
Tinggi batangku dapat mencapai lima meter dengan daun-daun runcing dan lurus. Bungaku istimewa, tak pernah layu, mekarku abadi sehingga dijuluki ”bunga abadi”. Sungguh julukan inilah yang menjadi ’beban’ bagiku karena banyak orang menyalahgunakan ’arti’ keabadianku selama ini! Keabadianku mereka samakan dengan ’cinta abadi’, cinta sepasang manusia yang tidak memiliki ikatan resmi. Ah ... apalah arti protesku? Toh, siapa yang perduli dengan rintihanku.
Aku berada di kamar Rieska. Tersusun rapi di atas lemari belajarnya. Di sampingku ada diktat kuliah, novel, majalah remaja dan ... bunga-bunga koleksi Rieska!
Tempatnya sengaja disimpan Rieska. Yap! Untuk mengenang siapa yang memberikannya! Aku memang lebih beruntung dari bunga mawar yang menjadi pendatang baru di kamar ini. Wajahnya pucat karena air di dalam vasnya tak pernah diganti Rieska. Sama halnya dengan nasib suplir yang telah mengering menjadi pembatas buku, lengkap dengan spora yang masih menempel di tubuhnya, dan anggrek yang merana karena sebagian kelopak bunganya telah mengering.
Ya ... di antara bunga-bunga milik Rieska, ternyata aku memang diperlakukan ’istimewa’ oleh majikanku, Rieska! Aku ditaruh di dalam kotak berwarna biru muda, berlapiskan plastik transparan. Aku sangat senang dengan perlakuan baik Rieska. Tapi, aku sangat resah dengan label hitam yang bertulisakan ”Cinta Abadi” yang melekat manis di atas plastik kotak ini.
”Kamu beruntung, ya, Weis tempatmu terempuk!” komentar mawar suatu hari saat Rieska berngkat kuliah
”Iya ... Weis, kamu tidak perlu ganti-ganti air seperti aku!” ujar anggrek.
”Ah, kalian bisa saja,” ujarku pelan.
”Tapi, benar kan memang kamu anak emas! Apa karena kamu pemberian Ari pacar Rieska anak gunung itu?! Kali ini suara supir dari balik buku angkat bicara.
Ya, benar aku memang anak emas Reiska. Ia mangambilku ketika dia mendaki gunung gunung Ceremai, Jawa barat. Aku diberikan kepada Reiska tepat pada ulang tahun ke-22, enam bulan lalu.”
”Ah ... itu kan pikiran kalian saja kalau aku bahagia ada di sini, sebenarnya aku nggak terlalu bahagia kok tinggal di sini!” ujarku.
”Kok bisa? Mengapa?” tanya mawar keheranan.
”Aku ingin sekali Reiska menyadari keberadaan kita. Reiska seharusnya berpikir ada apa di balik kekuasaan Allah yang telah menciptakan kita. Mereka seharusnya menjaga kita dengan baik. Bukankah Allah menciptakan mereka untuk menjadi Khalifah di muka bumi ini? Manusia seharusnya menyayangi dan merawat kita. Mereka seharusnya berpikir andai tidak ada mawar, anggrek, suplir, atau bunga lainnya, bagaimana? Dunia pasti suram tanpa penyejuk mata. Beda kalau ada kita, mereka akan merasa senang dan tenteram bila memandang si mawar yang sedang mekar, suplir yang segar atau anggrek yang ..... dan seharusnya manusia yang melihat ’keabadianku’ sebagai contoh bagaimana mengabadikan hatinya sebagai rasa syukur ke hadirat Illahi,” suaraku pelan, mataku mulai berkaca-kaca menahan air mata yang hampir tertumpah.
”Kamu benar, Weis. seharusnya manusia belajar dari fenomena alam seperti kita. Lihat bungaku, berwarna merah menawan, wangi yang merebak. Allah sengaja menciptakan duri-duri kecil di batangku untuk menjaga kehormatanku dari serangan makhluk yang jahil agar tidak mudah dipetik begitu saja. Dan kamu juga hidup di tepi jurang sehingga diperlukan perjuangan bagi yang ingin memetikmu. Seharusnya manusia menyadari hal itu, mencontohkan kita! Indah tapi tak mudah diraih.
”Ah sudahlah ..... sekarang memang zaman edan, yang pria berjas rapi menutup seluruh aurat, eh ..... wanitanya berpakaian seksi minim bahan. Apa itu namanya dunia nggak terbalik ?” sahut suplir yang dulunya tinggal di teras depan rumah Bayu pacar Reiska yang ketiga.
”Arif ... ada yang ingin kukatakan,” terdengar suara Reiska di ruang tamu. Malam itu hanya mereka berdua yang ada di rumah, mama dan papa serta kedua kakaknya, Rina dan Shanti pergi ke pesta pernikahan relasi papanya.
”Ada apa?” tanya Arif, mereka berdua duduk di kursi sofa empuk.
”Aku ..... aku ..... Telat ..... aku .... ha ..... mil, Ari!”
”Hah? Kamu hamil?” tanya Arif kaget, ini di luar dugaannya.
”I ..... ya, kita harus segera menikah, Arif aku takut papa dan mama akan marah!” ujar Reiska gusar.
”Tidak! Aku tidak mau menikah sekarang! Kamu harus menggugurkan kandunganmu!”
”Arif, aku nggak mau, ini anak kita! Kamu harus bertanggung jawab!” teriak Reiska bercampur tangis.
”Nggak, aku nggak mau, mungkin saja ini anakmu dengan pacar kamu yang lain!”cibir Arif.
”Arif ..... teganya kamu bicara begitu, ini anak kamu, Arif anak kita!”
”Pokoknya tidak! Kamu harus menggugurkan, harus! Titik!”
”Eh ..... kawan-kawan, Reiska kenapa yah?” tanyaku pada mereka.
”Nggak tahu, tidak seperti biasanya yah? Mungkin ..... Reiska ribut dengan Arif, atau berantem sama papa dan mamanya,”tebak anggrek.
Tiba-tiba, Reiska berjalan dengan tergesa menuju meja belajarnya, meraih kotak mungil yang disimpannya dengan penuh kasih sayang selama ini.
”Percuma kamu berikan itu, dulu bunga Edelweis kalau cintamu bukan cinta abadi, tapi cinta murahan! Ngakunya cinta, tapi mengapa kamu tinggalkan aku dalam keadaan ini?” tangis Reiska sambil membuka kotak mungil itu lalu membuang seluruh bunga Edelweis ke dalam tempat sampah yang berada tepat di samping meja belajar. Bunga lainnya, mawar, suplir, dan anggrek menjerit histeris !
”Ja..ngan...!!” teriak mawar, suplier dan anggrek serempak. Tapi terlambat! Edelweis telah dibuang ke dalam tong sampah dan bercampur dengan sampai lainnya.
Namaku Edelwies alias Anaphalis javanica. Biasanya aku tumbuh di dataran tinggi atau puncak-puncak gunung. Kali ini aku berada dalam genggaman seorang pemuda bernama Rahman. Ia mengamatiku dari tadi sambil terus berzikir memuji asma Allah.
”Ya...Rabb yang Maha Kuasa, satu lagi telah Kau-tunjukkan kebesaranMu menciptakan bunga Edelweis yang tahan layu dan tak lelah diterpa angin, tanpa memudar dan tanpa kekeringan. Ya...Rabb, seperti inikah semangat Saudara-saudaraku di Palestina dalam menghadapi serangan Tentara Yahudi demi merebut kembali hak mereka atas masjid Al-Aqsa? Ya ... Allah, kuatkanlah hati-hati kami untuk merebut itu semua,” lirih suara Rahman menyejukkan hatiku.
Aku hanya tumbuhan tanpa nyawa, tapi aku merasakan betapa ia seorang pemuda yang berhasil mengenali alamnya dan terus berzikir melihat keesaan Penciptanya. Aku, Edelweis, tersenyum bahagia dalam genggamannya.
NAMAKU EDELWEISS
Namaku Edelwiss alias Anaphalis javanica. Biasanya aku tumbuh di dataran tinggi atau puncak-puncak gunung. Oleh kalangan Botani, aku sering disebut tanaman sejenis perdu, dan termasuk anggota famili Compositae atau disebut juga Asteraceae (sambung-sambungan).
Bungaku kecil sebesar bunga rumput. Orang lebih mengenalku dengan warna putih daripada warna lainnya. Hidupku bergerombolan di ujung dahan dengan harum yang khas.
Tinggi batangku dapat mencapai lima meter dengan daun-daun runcing dan lurus. Bungaku istimewa, tak pernah layu, mekarku abadi sehingga dijuluki ”bunga abadi”. Sungguh julukan inilah yang menjadi ’beban’ bagiku karena banyak orang menyalahgunakan ’arti’ keabadianku selama ini! Keabadianku mereka samakan dengan ’cinta abadi’, cinta sepasang manusia yang tidak memiliki ikatan resmi. Ah ... apalah arti protesku? Toh, siapa yang perduli dengan rintihanku.
*****
Tempatnya sengaja disimpan Rieska. Yap! Untuk mengenang siapa yang memberikannya! Aku memang lebih beruntung dari bunga mawar yang menjadi pendatang baru di kamar ini. Wajahnya pucat karena air di dalam vasnya tak pernah diganti Rieska. Sama halnya dengan nasib suplir yang telah mengering menjadi pembatas buku, lengkap dengan spora yang masih menempel di tubuhnya, dan anggrek yang merana karena sebagian kelopak bunganya telah mengering.
Ya ... di antara bunga-bunga milik Rieska, ternyata aku memang diperlakukan ’istimewa’ oleh majikanku, Rieska! Aku ditaruh di dalam kotak berwarna biru muda, berlapiskan plastik transparan. Aku sangat senang dengan perlakuan baik Rieska. Tapi, aku sangat resah dengan label hitam yang bertulisakan ”Cinta Abadi” yang melekat manis di atas plastik kotak ini.
*****
”Kamu beruntung, ya, Weis tempatmu terempuk!” komentar mawar suatu hari saat Rieska berngkat kuliah
”Iya ... Weis, kamu tidak perlu ganti-ganti air seperti aku!” ujar anggrek.
”Ah, kalian bisa saja,” ujarku pelan.
”Tapi, benar kan memang kamu anak emas! Apa karena kamu pemberian Ari pacar Rieska anak gunung itu?! Kali ini suara supir dari balik buku angkat bicara.
Ya, benar aku memang anak emas Reiska. Ia mangambilku ketika dia mendaki gunung gunung Ceremai, Jawa barat. Aku diberikan kepada Reiska tepat pada ulang tahun ke-22, enam bulan lalu.”
”Ah ... itu kan pikiran kalian saja kalau aku bahagia ada di sini, sebenarnya aku nggak terlalu bahagia kok tinggal di sini!” ujarku.
”Kok bisa? Mengapa?” tanya mawar keheranan.
”Aku ingin sekali Reiska menyadari keberadaan kita. Reiska seharusnya berpikir ada apa di balik kekuasaan Allah yang telah menciptakan kita. Mereka seharusnya menjaga kita dengan baik. Bukankah Allah menciptakan mereka untuk menjadi Khalifah di muka bumi ini? Manusia seharusnya menyayangi dan merawat kita. Mereka seharusnya berpikir andai tidak ada mawar, anggrek, suplir, atau bunga lainnya, bagaimana? Dunia pasti suram tanpa penyejuk mata. Beda kalau ada kita, mereka akan merasa senang dan tenteram bila memandang si mawar yang sedang mekar, suplir yang segar atau anggrek yang ..... dan seharusnya manusia yang melihat ’keabadianku’ sebagai contoh bagaimana mengabadikan hatinya sebagai rasa syukur ke hadirat Illahi,” suaraku pelan, mataku mulai berkaca-kaca menahan air mata yang hampir tertumpah.
”Kamu benar, Weis. seharusnya manusia belajar dari fenomena alam seperti kita. Lihat bungaku, berwarna merah menawan, wangi yang merebak. Allah sengaja menciptakan duri-duri kecil di batangku untuk menjaga kehormatanku dari serangan makhluk yang jahil agar tidak mudah dipetik begitu saja. Dan kamu juga hidup di tepi jurang sehingga diperlukan perjuangan bagi yang ingin memetikmu. Seharusnya manusia menyadari hal itu, mencontohkan kita! Indah tapi tak mudah diraih.
”Ah sudahlah ..... sekarang memang zaman edan, yang pria berjas rapi menutup seluruh aurat, eh ..... wanitanya berpakaian seksi minim bahan. Apa itu namanya dunia nggak terbalik ?” sahut suplir yang dulunya tinggal di teras depan rumah Bayu pacar Reiska yang ketiga.
*****
”Arif ... ada yang ingin kukatakan,” terdengar suara Reiska di ruang tamu. Malam itu hanya mereka berdua yang ada di rumah, mama dan papa serta kedua kakaknya, Rina dan Shanti pergi ke pesta pernikahan relasi papanya.
”Ada apa?” tanya Arif, mereka berdua duduk di kursi sofa empuk.
”Aku ..... aku ..... Telat ..... aku .... ha ..... mil, Ari!”
”Hah? Kamu hamil?” tanya Arif kaget, ini di luar dugaannya.
”I ..... ya, kita harus segera menikah, Arif aku takut papa dan mama akan marah!” ujar Reiska gusar.
”Tidak! Aku tidak mau menikah sekarang! Kamu harus menggugurkan kandunganmu!”
”Arif, aku nggak mau, ini anak kita! Kamu harus bertanggung jawab!” teriak Reiska bercampur tangis.
”Nggak, aku nggak mau, mungkin saja ini anakmu dengan pacar kamu yang lain!”cibir Arif.
”Arif ..... teganya kamu bicara begitu, ini anak kamu, Arif anak kita!”
”Pokoknya tidak! Kamu harus menggugurkan, harus! Titik!”
”Eh ..... kawan-kawan, Reiska kenapa yah?” tanyaku pada mereka.
”Nggak tahu, tidak seperti biasanya yah? Mungkin ..... Reiska ribut dengan Arif, atau berantem sama papa dan mamanya,”tebak anggrek.
Tiba-tiba, Reiska berjalan dengan tergesa menuju meja belajarnya, meraih kotak mungil yang disimpannya dengan penuh kasih sayang selama ini.
”Percuma kamu berikan itu, dulu bunga Edelweis kalau cintamu bukan cinta abadi, tapi cinta murahan! Ngakunya cinta, tapi mengapa kamu tinggalkan aku dalam keadaan ini?” tangis Reiska sambil membuka kotak mungil itu lalu membuang seluruh bunga Edelweis ke dalam tempat sampah yang berada tepat di samping meja belajar. Bunga lainnya, mawar, suplir, dan anggrek menjerit histeris !
”Ja..ngan...!!” teriak mawar, suplier dan anggrek serempak. Tapi terlambat! Edelweis telah dibuang ke dalam tong sampah dan bercampur dengan sampai lainnya.
******
Namaku Edelwies alias Anaphalis javanica. Biasanya aku tumbuh di dataran tinggi atau puncak-puncak gunung. Kali ini aku berada dalam genggaman seorang pemuda bernama Rahman. Ia mengamatiku dari tadi sambil terus berzikir memuji asma Allah.
”Ya...Rabb yang Maha Kuasa, satu lagi telah Kau-tunjukkan kebesaranMu menciptakan bunga Edelweis yang tahan layu dan tak lelah diterpa angin, tanpa memudar dan tanpa kekeringan. Ya...Rabb, seperti inikah semangat Saudara-saudaraku di Palestina dalam menghadapi serangan Tentara Yahudi demi merebut kembali hak mereka atas masjid Al-Aqsa? Ya ... Allah, kuatkanlah hati-hati kami untuk merebut itu semua,” lirih suara Rahman menyejukkan hatiku.
Aku hanya tumbuhan tanpa nyawa, tapi aku merasakan betapa ia seorang pemuda yang berhasil mengenali alamnya dan terus berzikir melihat keesaan Penciptanya. Aku, Edelweis, tersenyum bahagia dalam genggamannya.
(Sumber: Majalah Sabili, 10 April 2003)
Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Madya Kelas XI irman.pdf
No comments:
Post a Comment