Thursday, July 27, 2017

WACANA : BANYAK SEKOLAH BANYAK PENGANGGURAN

Banyak Sekolah Banyak Pengangguran

BANYAK SEKOLAH BANYAK PENGANGGURAN
berita.suaramerdeka.com
Kualitas sarjana asal India sulit bersaing di dunia kerja. Tiap tahun, dari 5 juta sarjana baru, separuh lebih akan menganggur.

Kunal Gurab, 24 tahun, adalah pegawai input data di sebuah perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing. Kerjanya menerima telepon dari para pelamar lalu memasukkan data mereka ke database perusahaan. Kunal sebenarnya tidak cocok untuk pekerjaan administrasi itu. Pasalnya, dia adalah sarjana akuntansi dengan predikat cum laude. Namun, dia selalu gagal mendapat pekerjaan di bidang keuangan yang diinginkannya. “Di berbagai wawancara kerja, saya diberitahu bahwa pendidikan saya tidak mengajarkan keahlian yang dibutuhkan dunia akuntansi atau perbankan,” katanya seperti dilansir The Strait Times.

Kunal adalah satu dari sekian banyak sarjana fresh graduate India yang kini makin menjadi korban dari sistem pendidikan mereka sendiri, yakni, sistem pendidikan yang tidak mampu beradaptasi dengan kebutuhan dunia kerja. Angkanya memprihatinkan. Awal bulan lalu, Aspiring Minds, sebuah lembaga perekrut tenaga kerja, merilis survei yang menyebutkan sekitar 47 persen dari sarjana fresh graduate India tidak layak direkrut. Penyebabnya, antara lain, rendahnya kemampuan berbahasa Inggris, rendahnya kemampuan memecahkan masalah, dan kurangnya pengetahuan komputer.

Angka itu bahkan lebih besar lagi bila menggunakan perhitungan dunia industri. Kamar Dagang dan Industri India, misalnya, pernah merilis data sejenis dan prediksi mereka jauh lebih besar. Dari total 480 juta tenaga kerja di India, hanya 5persen yang memiliki keterampilan. “Ada ketidakcocokan antara hasil sistem pendidikan kita dan kebutuhan industri,” kata R.V. Kamoria, mantan Ketua Kadin India, kepada The Strait Times.

Pengangguran sarjana di India memang tema yang kian aktual. Sejak 2011, para pengamat pendidikan di India berteriak-teriak tentang perlunya sebuah overhaul sistem pendidikan negara itu. Pasalnya, setiap tahun India meluluskan sampai 5 juta sarjana, namun lebih dari separuhnya menganggur.

Pada 2012 lalu, bahkan sempat ada kasus yang jadi olok-olok dunia kerja. Ketika itu, Mohit Candra, seorang petinggi firma akuntansi KPMG di India, dalam surat terbuka di New York Times, menulis tentang betapa rendahnya kualitas sarjana fresh graduate asal India. Mohit mengutip kualitas surat lamaran kerja seorang fresh graduate yang dikategorikan high qualified ke KPMG, namun bahasa Inggris-nya sangat berantakan. “To be a part of an organization wherein I could cherish my erudite dexterity to learn the nitigrities of consulting,” demikian tulis si pelamar. “Adakah yang tahu apa artinya kalimat itu? Kami jelas tidak tahu,” tulis Mohit prihatin.


Mengapa sampai terjadi fenomena itu, banyak jawaban diberikan. Namun yang paling utama adalah menjamurnya sekolah yang sekadar mengejar kuantitas jumlah kelulusan. Menurut The Strait Times, sejak tahun 1990-an jumlah akademi di India mengalami ledakan luar biasa. Kebijakan pemerintah India yang mempertahankan biaya pendidikan murah juga jadi faktor mengapa banyak sarjana baru dihasilkan.

Sayangnya, kebijakan itu tidak diimbangi dengan peningkatan gaji dosen dan kurikulum pendidikan. Akibatnya, banyak sarjana yang tetap masih hijau setelah meninggalkan kampus. Di sektor teknologi informasi (TI), perubahannya terjadi sangat cepat, kemampuan para sarjana fresh graduate ini lebih parah lagi. Tidak sekadar masih hijau, bahkan seperti baru mengenal dunia komputer.

Suvei yang dilakukan asosiasi perusahaan komputer India, National Association of Software and Services Companies (NASSC) pada 2011 misalnya, menyebutkan bahwa dari 1,5 juta sarjana komputer yang dihasilkan India tiap tahun, hanya 25persen yang layak dipekerjakan. NASSC menyebutkan bahwa kurikulum TI yang kuno dan telah kehilangan pijakan dengan dinamika industri yang sangat kompetitif sebagai penyebab utama masalah ini. Sarjana TI yang cepat mendapat pekerjaan biasanya adalah tipe yang sadar akan keterlambatan kurikulum dan berinisiatif meningkatkan diri mereka sendiri dengan intens mengikuti perkembangan teknologi.

Fenomena sarjana pengangguran ini akhirnya memang melahirkan “sistem pendidikan tambahan”, yakni pelatihan intensif kerja yang biasanya diadakan oleh perusahaan perekrut tenaga kerja. Pada 2011 lalu, koran The Wall Street Journal, misalnya, menulis bagaimana para fresh graduate India mulai terbiasa menghabiskan waktu sampai enam bulan setelah lulus untuk belajar lagi di training center perusahaan perekrut.

Consumer Pvt Ltd, salah satu perusahaan terbesar di India, termasuk yang rutin mengadakan pelatihan tersebut bagi sarjana fresh graduate. Tiap tahun, perusahaan perekrut itu bisa mendapat kontrak untuk mencari sampai 3.000 tenaga kerja profesional untuk kebutuhan perusahaan asing.

Meski ditambal dengan training center, toh Consumer Pvt tetap kerepotan melayani kebutuhan. S. Nagarajan, pendiri perusahaan, bercerita bahwa ia sampai harus merekrut tenaga kerja dari Filipina dan Nikaragua untuk memenuhi kebutuhan 3.000 orang per tahun itu. “Dengan populasi India yang sampai 1,2 milyar, seharusnya memang mudah mencari karyawan. Tapi, faktanya kami sampai perlu membalik batu untuk mencari orang,” katanya.

Pemerintah India memang tidak diam saja dengan fenomena ini. Sebuah program overhaul pendidikan berbiaya jutaan dolar kini terus digodok untuk menjawab tantangan tersebut. Program ambisius ini bertujuan membangun puluhan training center pemerintah, mengembangkan kurikulum, sekaligus meningkatkan kapasitas dosen. Menurut The Strait Times, program jangka panjang ini baru akan terlihat hasilnya pada 2022 nanti.

Bila membandingkan dengan Indonesia, India memang bisa dibilang lebih menghadapi masalah dalam soal pengangguran sarjana. Situasi di Indonesia untungnya masih belum begitu memprihatinkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya, menyebutkan bahwa per Februari 2013, jumlah lulusan sarjana mencapai 7,17 juta orang. Dari angka itu, hanya 360.000 sarjana (5,04persen) yang menganggur.

Ini memang menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia lebih bisa beradaptasi dengan dinamika dunia kerja. Meski keunggulan itu juga diimbangi dengan kelemahan lain: kian mahalnya biaya pendidikan.

Sumber: Gatra 31 Juli 2013 halaman 72-73

Sumber : BE B.indonesia Kelas XII SMT 2.pdf

No comments:

Post a Comment